بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم
"Kurang berarti "Kemunculan" atau "Penampilan" Para filosof Muslim menjelaskan bahwa manusia sebagai bagian dari alam merupakan manifestasi adanya Allah.
Manifestasi atau tajalli dalam tradisi sufi berarti penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Konsep ini berakar pada pandangan bahwa Allah dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya alam ini.
Allah, dengan demikian, merupakan sumber segala sesuatu, dan berarti pula segala sesuatu itu pasti memiliki hubungan erat dengan-Nya. Andai saja Allah tidak menciptakan alam semesta ini sudah tentu tidak akan ada yang bereksistensi kecuali cahaya murni yang membutakan, tidak akan ada satu pun makhluk yang melihatnya dan tak ada yang bisa dilihat.
Untuk memudahkan pemahaman tentang manifestasi ini, William C. Chittick membuat analogi sederhana, yaitu matahari dan sinarnya. Matahari berhubungan dengan Allah dalam diri-Nya sendiri (yang dalam tradisi teologi Islam disebut “Dzat”). Spektrum cahaya muncul dari matahari ketika berhubungan dengan nama-nama Allah (juga disebut “sifat-sifat-Nya”).
Warna dan bentuk yang tampak di dunia dan terjadi karena pantulan cahaya itu merupakan “tanda-tanda” Allah. Kalau cahaya yang menerobos masuk ke dalam ruangan merupakan perbuatan matahari, maka sama halnya dengan semua makhluk yang merupakan perbuatan Allah.
Dalam hal tajalli ini, seorang tokoh sufi terkenal, Ibn ’Arabi, memberikan penjelasan yang cukup rinci. Mula-mula dia menerangkan tentang pengertian tajalli, yaitu Allah menyingkapkan diri-Nya sendiri kepada makhluk-Nya. Sinonim tajalli adalah kata fayd (emanasi), zuhr (penampakan), tanazzul (penurunan), dan fath (pembukaan).
Manifestasi atau tajalli dalam tradisi sufi berarti penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Konsep ini berakar pada pandangan bahwa Allah dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya alam ini.
Allah, dengan demikian, merupakan sumber segala sesuatu, dan berarti pula segala sesuatu itu pasti memiliki hubungan erat dengan-Nya. Andai saja Allah tidak menciptakan alam semesta ini sudah tentu tidak akan ada yang bereksistensi kecuali cahaya murni yang membutakan, tidak akan ada satu pun makhluk yang melihatnya dan tak ada yang bisa dilihat.
Untuk memudahkan pemahaman tentang manifestasi ini, William C. Chittick membuat analogi sederhana, yaitu matahari dan sinarnya. Matahari berhubungan dengan Allah dalam diri-Nya sendiri (yang dalam tradisi teologi Islam disebut “Dzat”). Spektrum cahaya muncul dari matahari ketika berhubungan dengan nama-nama Allah (juga disebut “sifat-sifat-Nya”).
Warna dan bentuk yang tampak di dunia dan terjadi karena pantulan cahaya itu merupakan “tanda-tanda” Allah. Kalau cahaya yang menerobos masuk ke dalam ruangan merupakan perbuatan matahari, maka sama halnya dengan semua makhluk yang merupakan perbuatan Allah.
Dalam hal tajalli ini, seorang tokoh sufi terkenal, Ibn ’Arabi, memberikan penjelasan yang cukup rinci. Mula-mula dia menerangkan tentang pengertian tajalli, yaitu Allah menyingkapkan diri-Nya sendiri kepada makhluk-Nya. Sinonim tajalli adalah kata fayd (emanasi), zuhr (penampakan), tanazzul (penurunan), dan fath (pembukaan).
Baginya, penampakan Allah atau tajalli bukan hanya dikhususkan bagi orang yang diberi kasyf (terbukanya hijab atau penghalang). Namun dari pengetahuan kasyf itu sendiri dapat diambil sebuah pemahaman bahwa alam merupakan tajalli Allah dalam bentuk beraneka ragam sesuai dengan ide-ide tetap (tentang alam) sesuai ilmu Allah.
Bentuk tajalli tidak pernah sama dan tidak pula berulang, tetapi tajalli itu akan terus menerus berlangsung tanpa berhenti. Terjadinya tajalli disebabkan kerinduan Allah untuk dikenal ciptaan-Nya. Namun, tajalli tidak bisa terjadi kecuali terbentuk dalam bentuk nyata yang telah ditentukan dan dikhususkan. Penampakan diri ini disebut dengan ta’ayyun.
Ada tiga martabat tajalli dalam pandangan Ibn ’Arabi, yaitu: Pertama, martabat ahadiyah atau dzatiyah, wujud Allah dalam kondisi yang mutlak yang mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Dia tidak dapat dipahami atau sekedar dikhayalkan. Pada martabat ini Allah berada dalam keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (fi al-’ama’); tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak musamma (dinamai).
Kedua, martabat wahidiyah, penampakan pertama (ta’ayyun awwali) Allah atau disebut juga martabat tajali zat pada sifat atau faydh al-aqdas (emanasi paling suci). Dalam martabat ini, zat yang mujarrad bermanifestasi melalui sifat dan asma-Nya. Di sinilah nama Allah muncul dan nama-nama-Nya yang lain (asmaul husna).
Akan tetapi, sifat dan nama itu sendiri identik dengan zat. Di sini kita berhadapan dengan zat Allah yang Esa, tetapi Dia mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial dari hakikat alam semesta atau entitas permanen (al-’a’yan tsabitah).
Ketiga, martabat tajalli syuhudi yang juga disebut faydh al-muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun tsani (penampakan diri peringkat kedua). Pada martabat ini Allah bertajali melalu asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam kasatmata.
Dengan kata lain, melalui firman kun (jadilah), maka entitas permanen secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan begitu alam ini tidak lain merupakan kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus atau mazhar tajali al-Haq.
Alam yang menjadi wadah manifestasi itu sendiri merupakan wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya. Ia seperti ’aradh atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan jauhar (substansi) dalam istilah ilmu kalam. Selama ada substansi, maka aksiden akan tetap ada. Selama ada Allah, alam akan tetap ada, ia hanya muncul dan tenggelam tanpa akhir.
Inti pandangan Ibn Arabi adalah bahwa keseluruhan kosmos merupakan wahana manifestasi sifat-sifat Allah. Pada hakikatnya tidak ada yang bereksistensi kecuali nama-nama-Nya. Menurutnya, segala sesuatu berasal dari Allah, segala sesuatu memanifestasi Allah, segala sesuatu menjadi tanda Allah, segala sesuatu mencerminkan Allah, segala sesuatu itu bukanlah selain-Allah, semuanya adalah Allah (wihdatul wujud).
Inilah konsep dasar tasawuf Ibnu ’Arabi. Tak ada yang bereksistensi kecuali Allah.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Post a Comment